Bos marah itu biasa.

Yang luar biasa adalah saat kami semua… kompak.

Pagi itu dimulai dengan email panjang. Terlalu panjang untuk dibaca sebelum kopi.

Subject-nya netral.
Isinya emosional.

Aku baru sampai meja ketika satu per satu notifikasi bermunculan. Bukan dari bos, tetapi dari grup internal tim.

“Baca emailnya pelan-pelan.”
“Jangan dibalas dulu.”
“Tarik napas.”

Kami sudah seperti unit penanggulangan bencana.

Meeting dadakan dijadwalkan. Semua orang datang dengan wajah serius, tapi mata saling bertanya: siapa yang kena duluan?

Bos bicara dengan nada tinggi. Kata-katanya cepat. Kalimatnya panjang. Intinya satu: tidak puas.

Kami mengangguk serempak. Sinkron. Terlatih.

Tidak ada yang menyela. Tidak ada yang defensif. Semua tahu, ini bukan soal solusi, ini soal meluapkan.

Begitu rapat selesai, kami bubar rapi.

Dan saat pintu tertutup…

Pantry penuh.

Ada yang langsung nyeduh kopi. Ada yang buka camilan. Ada yang cuma berdiri sambil menatap dinding.

“Gue tadi hampir jawab,” kata seseorang.
“Syukurlah enggak,” sahut yang lain. “Itu akan memperpanjang meeting.”

Kami tertawa.

Bukan karena lucu.
Tapi karena kalau tidak, kami bisa menangis.

Siang itu, kerja terasa lebih ringan. Bukan karena beban berkurang, tapi karena kami tahu, kami tidak sendirian.

Ada yang bantu cek file. Ada yang nawarin take over sebagian kerjaan. Tanpa diminta.

Solidaritas kantor itu aneh.
Tidak dirayakan.
Tidak difoto.

Tapi sangat terasa.

Sore hari, aku menatap timku dan berpikir:
kalau aku masih bertahan sejauh ini,
itu bukan karena kantor ini baik…

tapi karena orang-orangnya.

Dan hari itu, untuk pertama kalinya,
aku pulang dengan perasaan:
setidaknya, kami kompak.

No comments

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Followers