Senin pagi biasanya datang dengan niat jahat.

Tapi Senin ini… agak bingung.

Aku bangun dengan alarm yang sama, kopi yang sama, dan wajah yang sama lelahnya. Tapi entah kenapa, perutku tidak langsung protes.

Mungkin karena aku sudah pasrah.

Di kantor, suasana tidak langsung tegang. Tidak ada undangan meeting pagi. Itu sendiri sudah keajaiban.

Orang-orang saling menatap curiga.

“Ini beneran nggak ada meeting?”
“Jangan-jangan ditunda.”

Aku memilih percaya pada keajaiban kecil.

Pukul sembilan lewat lima, aku masih di meja. Tidak dimarahi. Tidak dipanggil. Laptopku belum trauma.

Aku mulai bekerja dengan perasaan aneh: fokus.

Bahkan aku sempat menyelesaikan satu tugas tanpa distraksi. Satu. Tapi itu rekor.

Di pantry, aku bertemu beberapa rekan kerja. Wajah mereka tidak sekusut biasanya.

“Senin ini kok jinak, ya?” kata seseorang.

“Awas,” sahut yang lain. “Biasanya yang jinak gini… jebakan.”

Kami tertawa. Tertawa versi orang kantor: pendek, hati-hati, tapi tulus.

Siang hari, bos lewat tanpa komentar. Semua orang pura-pura sibuk ekstra keras, padahal memahami satu hal: jangan merusak momen.

Sore datang tanpa drama. Tidak ada email “urgent”. Tidak ada revisi dadakan.

Jam lima lewat sepuluh, aku berdiri.

Tidak ada yang menghentikan.

Aku keluar kantor dengan perasaan ganjil.

Senin tidak menyenangkan.
Tapi juga tidak menghancurkan.

Dan untuk ukuran hidup kantor
itu sudah prestasi.

No comments

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Followers