Jam lima sore adalah konsep.
Bukan fakta.
Pukul 16.55, semua orang mulai gelisah. Mouse digerakkan lebih aktif. Excel dibuka lebih sering. Padahal isinya masih sama sejak siang.
“Kayaknya hari ini bisa pulang tepat waktu,” bisik seseorang.
Kebohongan pertama.
Pukul 17.02, email masuk.
Subject: Quick Update
Isi: tiga paragraf.
Lampiran: empat file.
Quick.
Aku menatap layar. Menghela napas. Membuka file. Menutup lagi. Membuka lagi.
“Lembur?” tanya seseorang.
“Enggak,” jawab orang lain. “Cuma… nyampe rumah agak malam.”
Kebohongan kedua.
Pukul enam, pantry penuh. Bukan untuk makan. Tapi untuk saling menguatkan.
“Aku nggak lapar,” kata seseorang sambil makan gorengan ketiga.
“Aku cuma mau minum,” kata yang lain sambil menyeduh kopi paling kental.
Aku duduk di meja dengan tekad palsu:
Habis ini kelar, pulang.
Pukul tujuh lewat.
Ada yang memutar lagu pelan. Ada yang memesan makan online “sekalian aja”. Ada yang mulai curhat tentang hidup, bukan kerjaan.
Aku menatap sekeliling.
Kami tidak dekat. Tapi kami senasib.
Lembur membuat orang jujur.
Dan sedikit lebih lucu.
Pukul delapan, seseorang berkata, “Besok aku cuti.”
Semua orang menatapnya dengan iri yang tulus.
Pukul sembilan, akhirnya selesai.
Kami berdiri. Mengemasi tas. Tanpa sorak sorai. Tanpa bangga. Hanya lega.
Di lift, kami diam. Lelah.
Aku sadar satu hal:
kantor ini mungkin melelahkan,
tapi di balik semua kebohongan kolektif tentang “sebentar lagi pulang”,
ada rasa kebersamaan yang aneh.
Bukan romantis.
Bukan indah.
Tapi cukup untuk membuatku bertahan… untuk hari ini.
