Aku punya satu folder rahasia di laptop kantor.

Namanya sederhana. Tidak mencurigakan. Tidak dramatis.

Misc.

Isinya?
Draft resign.
Versi satu sampai versi entah keberapa.

Setiap hari Senin, folder itu terasa memanggil-manggil.

“Buka aku,” katanya.
“Hanya lima menit,” katanya lagi.

Siang itu, setelah meeting lanjutan yang seharusnya email saja, aku membuka folder itu. Sekadar melihat. Bukan niat mengirim. Cuma… memastikan aku masih punya jalan keluar.

Versi pertama sangat emosional.
Versi kedua sok dewasa.
Versi ketiga terlalu jujur.

Yang terbaru bahkan cuma satu kalimat:

Saya lelah.

Itu saja.
Jujur.
Tapi tidak sopan.

Aku menutup folder itu cepat-cepat saat ada bayangan muncul di meja.

Rasya.

“Kamu lagi kerja atau bengong?” tanyanya.

“Kerja keras,” jawabku refleks. “Secara mental.”

Dia tertawa. “Senin lagi, ya?”

Aku mengangguk. “Aku sudah mempertimbangkan resign sejak jam sembilan.”

“Rekor baru,” katanya. “Biasanya jam sebelas.”

Aku tertawa kecil. Entah kenapa, bercanda tentang resign terasa lebih aman daripada benar-benar melakukannya.

“Aku belum berani,” kataku pelan. “Takut nyesel.”

Rasya menatapku sambil menyandarkan siku ke meja. “Kadang yang bikin capek bukan kerjaannya, tapi perasaan terjebak.”

Aku menoleh. “Kamu selalu ngomong kayak quotes LinkedIn, tapi entah kenapa masuk.”

Dia tersenyum. “Pengalaman.”

Sore itu, aku tidak membuka folder resign lagi. Bukan karena aku tidak lelah.

Tapi karena hari ini, setidaknya, aku bisa tertawa.

Dan untuk ukuran Senin… itu sudah pencapaian besar.

No comments

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Followers