Begitu pintu ruang rapat tertutup, aku langsung mencari satu hal:
pantry.
Bukan kopi.
Tapi keselamatan.
Pantry adalah satu-satunya tempat di kantor yang jujur. Semua orang datang ke sana tanpa topeng. Mata panda, bahu turun, napas panjang, tidak ada yang bisa disembunyikan.
Aku menuang kopi dengan tangan masih sedikit gemetar. Kopi pertama hari Senin selalu terasa seperti obat.
“Kamu kelihatan selamat,” suara itu datang dari belakang.
Rasya.
“Aku hampir KO,” jawabku jujur. “Itu meeting atau uji nyali?”
Dia tertawa kecil sambil mengambil gelas. “Kalau kamu bisa bertahan di meeting itu, kamu bisa bertahan di mana aja.”
Aku meneguk kopi. “Kenapa nggak ada pelatihan mental sebelum masuk kantor ini?”
“Kita semua belajar dari trauma,” katanya santai.
Kami berdiri berdampingan. Tidak bicara. Tapi tidak canggung. Hanya dua orang yang sama-sama masih hidup setelah Senin pagi.
“Aku benci hari ini,” kataku tiba-tiba.
Rasya menoleh. “Hari ini atau pekerjaannya?”
Aku berpikir sebentar. “Bosnya.”
Dia mengangguk pelan. “Valid.”
Aku tertawa kecil. Rasanya lega bisa mengeluh tanpa dihakimi.
“Tenang,” katanya. “Senin selalu paling kejam. Habis ini masih ada empat hari buat pura-pura kuat.”
Aku menatap kopi di tanganku. “Kamu kok santai banget.”
“Bukan santai,” katanya. “Aku sudah berdamai.”
Aku menggeleng. “Aku belum sampai tahap itu.”
Dia menatapku sebentar. “Nggak apa-apa. Nanti juga.”
Kami kembali ke meja masing-masing. Tapi entah kenapa, langkahku lebih ringan.
Pantry tidak menyelesaikan masalah.
Tapi kadang, cukup tahu ada tempat aman untuk bernapas… sudah lebih dari cukup.
Dan Senin ini, walaupun masih menyebalkan, tidak sepenuhnya buruk.
