Aku percaya satu hal:
tidak ada yang benar-benar pagi di hari Senin.
Jam masih menunjukkan 08.29 ketika aku sudah duduk di ruang meeting. Laptop terbuka. Notes siap. Mental? Tidak.
Ruang meeting itu selalu dingin. AC terlalu niat. Kursi terlalu keras. Dan papan tulis… saksi bisu dari semua revisi yang tidak masuk akal.
Satu per satu orang masuk dengan wajah setengah hidup.
Lalu pintu terbuka.
Bos masuk.
Aura ruangan langsung berubah. Seperti WiFi, tidak terlihat, tapi semua orang langsung terganggu.
“Mulai,” katanya singkat.
Tidak ada good morning. Tidak ada senyum. Hanya nada yang bikin bahu otomatis naik satu sentimeter.
Presentasi dimulai. Slide pertama muncul. Slide kedua. Slide ketiga.
“Ini kenapa begini?”
“Kenapa bukan begitu?”
“Siapa yang bikin?”
Pertanyaan dilempar tanpa jeda. Seperti kuis dadakan tapi tanpa hadiah.
Aku mencatat. Bukan karena semuanya penting, tapi karena tanganku perlu sibuk agar tidak gemetar.
Di tengah rapat, perutku berbunyi pelan. Aku menunduk. Malu. Trauma meeting ini selalu datang lengkap: lapar, dingin, dan rasa ingin menghilang.
Seseorang di seberang meja menyenggolku pelan. Aku menoleh.
Rasya.
Dia menggeser botol minumnya sedikit ke arahku. Tanpa bicara. Tanpa melihat.
Aku meneguk air itu pelan. Sepele. Tapi rasanya seperti diselamatkan.
Meeting berakhir dengan kalimat sakti:
“Kita bahas lagi nanti.”
Kalimat paling menakutkan di kantor.
Saat keluar ruangan, kakiku terasa lemas. Aku bersandar sebentar di dinding.
“Meetingnya selalu sehoror ini?” tanyaku ke Rasya.
Dia tertawa kecil. “Ini versi singkat.”
Aku mendesah. “Aku benci Senin.”
“Semua orang di sini begitu,” katanya. “Tapi kamu cepat belajar.”
Aku menatap ruang meeting yang kini kosong.
Ruang itu bukan cuma tempat diskusi.
Ia ruang trauma.
Tempat aku belajar bahwa bekerja tidak selalu tentang kemampuan, tapi juga tentang bertahan.
Dan entah kenapa… Senin ini terasa sedikit lebih bisa dilewati.
