Hari Selasa seharusnya lebih baik dari Senin.
Itu teori.
Praktiknya, Selasa hanyalah Senin yang belum move on.
Aku baru duduk sepuluh menit di meja kerja ketika email masuk. Subjeknya pendek, padat, dan mengandung ancaman terselubung.
URGENT.
Dari: Ibu Melinda.
Aku membuka email itu pelan-pelan, seperti membuka hasil medical check-up.
Mohon update laporan minggu lalu. Ditunggu hari ini.
Hari ini.
Aku melirik kalender.
Hari ini bukan akhir minggu.
Hari ini juga bukan keajaiban.
Padahal laporan itu sudah kukirim Jumat sore. Lengkap. Dengan attachment. Dengan cc yang benar. Dengan doa.
Aku membalas email itu dengan bahasa paling sopan yang kupunya.
Baik Ibu, kami update.
Kami. Selalu kami.
Karena kata “saya” terasa terlalu berani.
Belum sempat kopi kedua, suara kursi Bos bergeser dari ruangannya. Itu suara khas. Semua orang di divisi kami hafal. Seperti soundtrack film horor versi kantor.
“Mas, Mbak, sebentar ya.”
Nada suaranya datar. Terlalu datar.
Kami berkumpul. Lagi. Tanpa undangan kalender. Tanpa waktu persiapan. Tanpa mental.
“Kenapa saya baru dapat ini sekarang?” katanya sambil menunjuk layar.
Aku menatap dokumen yang sama persis dengan yang kukirim Jumat lalu. Bahkan nama filenya pun sama.
Aku ingin berkata, Ibu sebenarnya sudah dapat.
Tapi aku memilih berkata, “Baik Bu, nanti kami perbaiki.”
Padahal tidak ada yang perlu diperbaiki.
Bos menghela napas panjang.
Jenis napas yang membuat satu ruangan merasa bersalah, walaupun tidak tahu salahnya di mana.
“Ke depan, saya mau semua lebih proaktif,” katanya.
Aku mengangguk. Semua mengangguk.
Kami terlihat seperti mainan dashboard mobil.
Rapat dadakan itu selesai tanpa solusi, tanpa kejelasan, dan meninggalkan satu hal: deadline baru.
Hari ini. Jam lima.
Aku kembali ke meja dengan perasaan seperti habis dimarahi padahal tidak ketahuan salah apa.
Rasya menaruh secangkir kopi di mejaku tanpa berkata apa-apa.
Aku menoleh.
“Kamu dukun ya?” tanyaku.
Dia tersenyum kecil. “Ekspresi kamu barusan kayak orang butuh kafein, bukan motivasi.”
Aku tertawa pelan.
Itu tawa kecil yang bikin dada agak longgar.
Sore itu kami bekerja dalam diam. Bukan karena fokus, tapi karena capek. Sesekali aku melirik jam. Jarumnya bergerak lambat, seperti sengaja menguji kesabaran.
Pukul 16.58.
Aku mengirim email laporan versi tidak berubah dengan subject baru yang lebih panjang dan lebih sopan.
Mohon izin menyampaikan update laporan sesuai arahan.
Aku menatap layar beberapa detik setelah menekan send.
Tidak ada balasan.
Jam lima lewat.
Bos pulang tanpa komentar.
Entah itu berarti cukup… atau badai ditunda.
Aku menutup laptop.
Hari Selasa selesai.
Besok Rabu.
Masih ada Senin berikutnya.
Dan entah kenapa, di antara capek dan kesal, aku bersyukur ada kopi hangat dan coworker yang tidak banyak tanya tapi selalu paham.
Mungkin itu alasan kenapa aku belum resign.
Belum.
