Ada fase dalam hidup kantor yang sangat berbahaya.

Bukan saat ingin resign.
Tapi saat mulai… betah.

Aku menyadarinya pada Selasa pagi.
Bukan Senin.
Selasa.

Hari yang biasanya netral, tapi kali ini terasa… dinanti.

Aku datang ke kantor dengan langkah yang tidak terlalu berat. Bahkan sempat mikir, eh, cepet juga sampainya.

Itu red flag.

Di meja kerja, aku langsung membuka laptop tanpa mendesah. Tangan bergerak otomatis. Otak ikut kerja sama.

Ini makin bahaya.

Pagi itu kami bercanda di grup tim. Candaan receh. Meme jelek. Tapi cukup bikin senyum.

“Aku nggak benci hari ini,” kataku pelan ke diri sendiri.

Kalimat itu lebih mengerikan daripada lembur.

Di pantry, aku ikut nimbrung obrolan yang biasanya kulewati. Ikut tertawa. Ikut mengeluh. Ikut merasa bagian dari sesuatu.

“Kamu kok betah?” celetuk seseorang.

Aku refleks jawab, “Nggak betah, kok. Cuma… terbiasa.”

Pembelaan klasik.

Sore hari, pekerjaan selesai tepat waktu. Aku tidak buru-buru pulang. Duduk sebentar. Mengobrol hal-hal random.

Dan di situlah aku sadar:
aku mulai menunggu hari kerja.

Bukan karena pekerjaannya.
Tapi karena suasananya.

Karena rasa “kita bareng-bareng”.
Karena tawa kecil di sela stres.
Karena hari-hari yang tidak selalu menyenangkan, tapi bisa dilewati.

Aku pulang dengan perasaan aneh:
takut.

Takut aku lupa alasan kenapa dulu ingin pergi.
Takut betah membuatku diam terlalu lama.

Karena betah itu nyaman.
Dan kenyamanan… sering bikin orang lupa kapan harus pergi.

No comments

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Followers