Sinopsis

Setiap hari Senin, pukul delapan pagi, aku duduk di kursi yang sama, menatap slide yang sama, dan mendengar suara bos yang mood-nya selalu datang lebih dulu daripada aku.

Katanya ini rapat.
Bagiku, ini latihan kesabaran.

Bosku mudah marah, sulit ditebak, dan selalu punya cara membuat satu minggu terasa seperti sebulan. Sementara aku, bawahan biasa dengan kopi dingin dan senyum profesional hanya ingin bertahan sampai jam makan siang tanpa menuliskan surat resign di kepala.

Cerita ini bukan tentang karier gemilang atau cinta kantor yang dramatis.
Ini tentang lelah yang disembunyikan, tawa kecil di balik notulen, dan doa pendek setiap Senin pagi: “Semoga hari ini bosnya nggak marah.”

Sebuah cerita tentang bekerja, bertahan, dan keinginan resign yang selalu muncul… tapi entah kenapa, tak pernah benar-benar dikirim.

 

Bab 1: Senin Pagi Tidak Pernah Salah Alamat 

Aku benci hari Senin.
Bukan karena pekerjaannya.
Bukan juga karena bangun pagi.

Aku benci Senin karena pukul delapan tepat, aku harus duduk rapi di ruang rapat, berpura-pura siap, sambil menunggu satu hal yang selalu datang tanpa aba-aba: mood bosku.

Namanya Ibu Melinda.
Di kalender kantor, jabatannya Head Division.
Di kepalaku, beliau adalah penentu nasib mingguan.

Kadang beliau datang sambil tersenyum, yang artinya kami aman.
Kadang beliau diam, yang artinya kami harus hati-hati.
Kadang beliau meletakkan tas terlalu keras di meja, yang artinya… berdoa saja.

“Baik, kita mulai ya,” katanya pagi itu.

Jam di dinding menunjukkan pukul 08.01.
Kopiku baru dua teguk.
Mental belum hadir.

Slide pertama muncul.
Slide kedua.
Slide ketiga.

Aku mencatat, bukan karena rajin, tapi karena takut. Takut tiba-tiba namaku dipanggil, lalu ditanya sesuatu yang jawabannya sudah ku kerjakan minggu lalu, tapi hari ini entah kenapa terasa salah.

“Ini kenapa bisa seperti ini?”

Nada suaranya naik setengah oktaf.
Ruangan mendadak hening.
Aku menelan ludah.

Bukan aku yang ditanya.
Tapi aku tetap deg-degan.

Di kantor ini, marah itu menular.

Aku melirik jam. 08.17.
Masih lama.

Di kepalaku, ada folder khusus berjudul Surat Resign yang Tidak Pernah Dikirim. Isinya selalu sama: versi paling sopan dari rasa capek yang sudah terlalu lama dipendam.

Terima kasih atas kesempatan yang diberikan…
Dengan berat hati…
Saya ingin mengundurkan diri…

Tapi setiap kali jam menunjukkan pukul lima sore, folder itu kututup lagi.

Karena entah kenapa, aku masih di sini.

Rapat berakhir pukul 10.00.
Kami keluar satu per satu, membawa sisa-sisa semangat yang sudah dipakai terlalu pagi.

Di pantry, aku menuang kopi lagi.

“Senin banget ya,” kata seseorang di belakangku.

Aku menoleh.
Itu Rasya, rekan satu tim yang selalu datang tepat waktu, pulang sering lembur, dan entah bagaimana masih terlihat waras.

Aku tersenyum kecil.
“Senin memang hobi nyakitin orang.”

Kami tertawa pelan.
Tertawa yang bukan karena lucu, tapi karena sama-sama paham.

Dan di situ aku sadar:
aku tidak sendirian.

Mungkin aku belum berani resign.
Mungkin besok aku masih akan datang lagi.
Mungkin Senin akan tetap menyebalkan.

Tapi selama masih ada kopi hangat, teman seperjuangan, dan sedikit humor untuk bertahan…
aku akan mencoba melewati satu Senin lagi.

Untuk sekarang.

No comments

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Followers