Ketika melihat sebuah desain, ntah itu billboard di jalan, di kemasan makanan yang kamu pesan, di platform sosial media atau dimanapun kamu menemukannya mungkin dalam hati kamu mengomentari tulisannya kekecilan sulit dibaca, background-nya rame banget nabrak sama foto produknya, warnanya ngejreng banget bikin sakit mata dan nyinyiran lainnya. Bukan cuma orang non design yang komentar, seringnya sesama Desainer juga suka ghibahin sebuah karya desain yang mungkin menurut mereka bisa lebih baik lagi visualnya. Itu desainnya jelek banget sih. Wkwkwk. Sebenernya gimana sih cerita di balik sebuah desain yang kamu lihat?

Photo by MESSALA CIULLA from Pexels


    Lahirnya sebuah desain mempunyai cerita "behind the scene" masing-masing. Seringnya, proses dalam membuat sebuah desain tidak selalu ideal karena klien yang dihadapi kan berbeda-beda juga latar belakangnya profesinya, pendidikannya, dll. Hasil akhir sebuah desain ketika dipublikasikan biasanya juga bukan hasil murni ide dan konsep dari Desainernya bahkan Desainernya pun gak mau memasukannya ke dalam portofolionya jika bertentangan dengannya juga. Ada lebih dari satu kepala yang ikut andil di sana. Ada labirin yang harus dilalui sebelum approval. Tugas Desainer sebatas memberikan solusi, saran dan edukasi. Hasil akhir balik ke kliennya lagi. Kalau Klien tetap mau pada kehendaknya setelah diberikan solusi yang terbaik, Desainer bisa apa kecuali menuruti maunya. Gak peduli lagi deh soal prinsip hirarki visual. Bodo amat soal teori-teori desain. Wkwk. Yang penting ini revisi selesai deh. Badan gak rentek karena begadang. Klien senang dan Desainer mendapat bayaran. Itu realitanya di lapangan. Ya gak Para Kuli Grafis? berikut adalah beberapa cerita unik dibalik pembuatan sebuah desain yang sering dialami oleh Desainer.

    Pertama, Brief yang diberikan seringnya tidak clear. Klien sendiri bingung maunya apa. Jawaban paling menohok ketika wawancara dengan Klien "Bebas deh mau gimana aja. Yang penting bagus. Kan saya udah bayar kamu buat bikinin. Masa saya juga yang mikir?". Lah? Si Desainernya bingung. Ketika Desainer mengajukan beberapa alternatif visualisasi saat presentasi kemudian keluar rangkaian kata "Ada alternatif lain gak. Kok saya belum sreg ya sama logonya. Tapi gak tau tuh belum sregnya kenapa. Tolong bikinin alternatif lain ya". Hal seperti ini yang membuat revisi tiada akhir. Wkwk. Desainernya kurang peka, Kliennya gak ngasih clue dengan jelas. Ibaratnya ditanya mau makan apa? jawannya terserah. Hehe.

    Kedua, klien yang memegang kendali mouse Desainer "Itu logonya kurang gede. Gedein dong". Dilihatnya menggunakan kaca mata klien bukan pake grid lagi jadinya atau mungkin seperti ini "Ini desainnya sepi banget. Tambahin background pantai kek atau batik kek. Saya kan udah bayar mahal masa sepi begini sih. Rugi dong saya". Desain yang tadinya dibuat konsep clean tidak lagi clean jadinya deh. Belum lagi kalo kliennya Rorojongrang mode on. Minta dibuatkan desain dalam semalam. Besok sebelum ayam berkokok sudah diemail. Minta 5 alternatif pula. Hehe. Desainernya gagal melakukan negosiasi dan karena butuh duit juga buat makan sehari-sehari, yasudah terima aja deh. Yasudah hasilnya ala kadarnya. Yang penting jadi. Yang penting ada. Wkwkwk

    Ada lagi cerita untuk Desainer UI (User Interface) sendiri dalam merancang sebuah web atau apps. UX (User eXperience) dan bisnisnya belum clear dan matang, konten belum jelas, sudah diminta bikin mockup. Yang penting kelihatan bagus aja dulu. Padahal konten memainkan peran di situ. Akhirnya Desainer yang inisiatif masukin konten yang kira-kira cocok dengan deadline yang mepet seringnya. Setelah Klien lihat desainnya, baru kepikiran mau masukin konten apa. Mari kita rombak (pake nada Sisca Kohl). Lalu ketika si Desainer sudah memperhatikan padding, margin, ukuran font, bentuk button dan beberapa hal detail lainnya pada mockup-nya, masuk ke tim Developer, ntah karena waktu yang mepet atau kendala lainnya, sampai saat sudah naik produksi banyak yang belum sesuai dengan mockup. white space menjadi sosial distancing sampe sekian pixel, button ketika diklik lupa pake hover, slider jadi penyet gambarnya dan lain-lain. Yang penting semua fungsi pada web atau apps-nya bisa berjalan dengan baik dulu ketika pengetesan. Front end bisa diperbaiki nanti tapi yang sudah-sudah malah udah nambah feature lagi dan detail untuk memperbaiki tampilan terlupakan. Lagi-lagi yang penting launching dulu aja. Hehe.

    Well, menurut saya lahirnya sebuah desain mempunyai cerita masing-masing dan orang lain di luar circle yang terlibat dalam prosesnya hanya melihat hasil akhirnya. Pasti ada alasan kenapa bentuk akhirnya seperti itu. Pro dan kontra pasti ada. Bebas-bebas aja berpendapat. Ujung-ujungnya sih jawaban skakmat "Klien maunya desainnya begitu". Case closed. Hehe. Desainernya juga jangan baper ketika menerima feedback darimanapun. Kita tidak bisa mengendalikan apa yang akan dikatakan orang lain. Kita hanya bisa mengendalikan bagaimana kita akan merespon. Kita punya kendali untuk membuat keadaan menjadi lebih baik melalui respon kita. Ada yang ingin menambahkan? Semoga sharing ini bermanfaat dan bisa diambil hal baiknya ya.

No comments

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Followers