Mungkin tulisan ini akan bertentangan dengan artikel-artikel di luar sana tentang zona nyaman. Perlu gak sih keluar dari zona nyaman? Setelah aku pikir-pikir lagi, menurut aku nggak. Hehe. Manusia pada akhirnya akan selalu mencari yang nyaman kan? kenyamanan setiap orang itu berbeda-beda. Kalau sudah nyaman, kenapa harus keluar? “Kita Harus keluar dari zona nyaman. Nanti hidup kita gak berkembang. Nanti monoton gitu-gitu aja hidupnya. Kita Harus mencari tantangan”. Begitu ucapan Motivator seolah-olah zona nyaman itu negatif sekali. Kenapa yang ikut tes PNS masih tinggi? karena yang dilihat menjadi seorang PNS itu nyaman dan aman. Coba kita pahami baik-baik, apakah benar orang-orang yang ingin keluar dari zona nyaman benar-benar sudah merasa berada di zona nyaman? atau sebenarnya mereka hanya sedang berada di zona aman yang kurang tantangan atau zona malas?
Dalam bukunya ‘From Comfort Zone to Performance Management’ oleh Alasdair A. K. Menurutnya pada keadaan zona nyaman, seseorang jarang merasa gelisah dan jarang mengalami tekanan yang mengakibatkan stress seolah-olah zona nyaman mengarahkan seseorang pada penurunann produktifitas. Tetapi, apa benar zona nyaman mengekang seseorang sehingga tidak mampu berkembang baik dalam segi apapun?
Kita sering terperangkap, menganggap bahwa kehidupan kita, pekerjaan yang kita jalani terasa stagnan, tanpa tantangan, adalah definisi real tentang kondisi zona nyaman, padahal itu hanya sebatas zona aman. Bahkan yang lebih parah, kaum rebahan, yang terkesan cuma makan, tidur, nonton video yang unfaedah, scroll social media sepanjang hari kita definisikan sebagai zona nyaman, meski sebenarnya, istilah yang relevan untuk itu adalah zona malas.
Kita sering mendengar teman, orang lain atau bahkan jangan-jangan diri kita sendiri yang merasa ingin resain dari pekerjaan. Alasannya adalah ingin mencari tantangan baru, bosan menjalani rutinitas yang sama, iri sama teman yang punya jabatan sudah tinggi dengan gaji selangit, enak lihat hidup orang lain yang bekerja sebagai Freelancer, jadi PNS atau ingin menjadi seperti orang lain yang sukses jadi pengusaha. Alasan-alasan itu bermuara pada satu visi yang sama, yaitu keluar dari zona nyaman. Padahal gak semua orang sanggup menjalani proses dan memiliki pola pikir menjadi Pengusaha. Lihat saja banyak yang hanya semangat di awal, tetapi tidak menjaga komitmen dan akhirnya bubar. Begitupun ketika kita ingin menjadi seperti teman kita yang memiliki karir sebagai Eksekutif Muda. Siap gak kalau kita harus mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran kita lebih banyak untuk urursan pekerjaan? Gaji yang tinggi tentu dibarengi dengan tanggung jawab yang lebih besar. Menjadi Eksekutif muda, Freelancer, PNS ataupun Pengusaha bukanlah pencapaian, melainkan hanya pilihan dalam bekerja. Apakah bisa menjamin rasa bosan yang kita alami akan hilang ketika memilih resain dan beralih menjadi pengusaha misalnya? Sepertinya tidak ya. Tetapi mungkin menjawab rasa penasaran."Being right man, right place”.
Ketika kita menjalani sesuatu, baik itu ketika menjalani pendidikan, bekerja atau berkarya, tetapi dalam prosesnya kita merasa insecure, khawatir, overthinking, merasa tidak bisa menggali potensi diri berarti kita sedang tidak berada di zona nyaman kita. Zona yang nyaman bukan tercipta karena kemalasan atau tidak melakukan apapun, melainkan tercipta dari rasa suka, passion dan perasaan bahagia saat kita sedang mengerjakan sesuatu. Semakin kita suka, maka akan semakin penasaran untuk mencari tahu lebih jauh lagi.
Zona nyaman bukan berarti berjalan mulus-mulus saja tanpa rintangan dan tanpa tantangan. Coba kita baca sejarah penemu-penemu yang namanya menggema di dunia dan selalu menjadi bahan soal yang kita temui ketika kita ujian. Misalnya penemu bola lampu, Thomas Alfa Edison. Dia berjuang ribuan kali untuk bisa menemukan bola lampu pijar. Hal apa yang membuatnya bertahan mencoba ribuan kali jika bukan kenyamanan dan keingintahuannya yang tinggi dalam menjalani prosesnya? kalau dia tidak nyaman mengotak-atik logam dan platinum di hadapannya tentu dia sudah menyerah.
Zona nyaman bukan berarti dia pengecut untuk memulai sesuatu yang baru. Tetapi dia hanya ingin konsisten pada suatu bidang yang dia jalani. Kita bisa lihat perjuangan pemain bulutangkis ganda putri Indonesia Greysia Polii bersama pasangannya Apriyani Rahayu yang berhasil meraih medali emas untuk Indonesia pada Olimpiade Tokyo 2020. Mereka mengukir sejarah sebagai pebulu tangkis Indonesia yang meraih medali emas olimpiade di nomer ganda puteri dan Greysia sendiri menjadi pebulutangkis putri tertua dari Indonesia di usianya yang ke 33 tahun. Bertahun-tahun hidup Greysia banyak dihabiskan di lapangan bersama raket dan shuttlecock. Berkali-kali juga dia berganti patner. Berkali-kali dia mengahadapi lawan dari negara lain. Berkali-kali juga dia gagal untuk mencapai final, tetapi tidak menyurutkan semangat berjuanganya, tidak memutuskan untuk pensiun dini dan tidak juga mencoba berganti menjadi atlet cabang olahraga lain kan? Apa yang membuatnya bertahan sejauh itu? Tentu rasa nyaman bermain bulu tangkis, komitmen, dan pantang menyerah.
Zona nyaman adalah fase yang membuat seseorang terus bergerak, terus menghasilkan sebuah karya, terus bekerja dengan hati yang gembira meskipun sedang dihadapkan pada tantangan dan rintangan. You can still grow and learn in your comfort zone.
Seperti yang dikatakan oleh Megan Dhaum dalam bukunya The Unspeakable: And Other Subjects of Discussion bahwa kepuasaan hidup bisa diraih Ketika seseorang mampu memaksimalkan zona nyaman yang sudah diciptakan. Jadilah orang terbaik dalam zona nyamanmu.
Lalu masikah kita mengkhawatirkan zona nyaman? Atau sebaliknya, kita perlu bersyukur ketika sudah dianugerahi zona nyaman? Karena sebenarnya yang perlu dikhawatirkan bahkan dihindari adalah zona aman dan zona malas, bukan zona nyaman. Jangan lupa bersyukur, bersyukur karena hidup kita lebih baik dari kemarin, bukan karena lebih baik dari orang lain. Semoga bermanfaat :)