Dulu saat masih aktif mendaki gunung, ada beberapa teman yang menanyakan "Ngapain sih naik gunung? Udah enak tidur di kasur yang empuk di rumah. Gak kepanasan. Gak kehujanan. Gak susah kalau mau ngapa-ngapain. Ini malah bikin susah diri sendiri." Hehe. Apa yang dicari di gunung? Jalan bekilo-kilo meter dengan membawa beban di punggung, melewati tanjakan, tidur di tenda yang sempit, suhu yang dingin, meghadapi cuaca yang tidak menentu, buang hajat ribet. Ketika udah turun pun pulang bawa baju kotor, nenteng sampah sampai bawah, capek sekujur tubuh, kulit gosong. Hehe. Di kesempatan kali ini, Aku akan share pengalaman kenapa pendaki mau capek-capek mendaki padahal gunung yang didaki juga itu-itu lagi. Hehe.


    Kalau dipikir-pikir mendaki itu numpang tidur tetapi dalam kondisi berbeda. Enakan nongkrong di Mall adem atau nongkrong di Cafe yang nyaman. Tetapi buat aku banyak hal yang aku pelajari ketika melakukan sebuah pendakian. Alam mengajarkanku untuk selalu bersyukur, bahwa setiap sesuatu itu berharga yang kita sering lupa karena semuanya serba ada. Ketika di rumah kita sering tanpa sadar membuang-buang air. Mau mandi berapa gayung pun atau mau minum berapa banyak pun gak akan pernah kepikiran bagaimana kalau seandainya tidak ada air? Ketika makan sering tidak habis sehingga berujung masuk tempat sampah. Di gunung, semua serba terbatas, seteres air di botol sangat berharga. Sepotong roti bisa menjadi penyambung nyawa. 

    Sebuah pendakian mengajarkanku untuk berbagi. Tidak egois memikirkan diri sendiri. Aku pernah dikasih sebotol air minum oleh pendaki lain yang aku tidak kenal. Bekal airku habis dan tidak ada sumber air di sekitar situ. Dia memberiku dengan suka rela, padahal kita sama-sama membutuhkannya. Masih banyak orang baik di luar sana yang mengajarkan kita untuk berbagi. Pun ketika masak bersama dan saling berbagi bekal makanan dengan kelompok pendaki lain. Kami duduk melingkar sambil bersenda gurau, saling bercerita tentang pahit manisnya kehidupan. 

    Pendakian juga mengajarkanku akan kesabaran dan empati. Sabar menunggu teman yang masih berjalan agak tertinggal di belakang. Menyemangatinya untuk tetap semangat melanjutkan perjalanan. Sabar ketika sudah capek tetapi masih harus berjalan mengejar waktu agar tidak kemalaman mendirikan tenda. Semuanya juga capek, gak boleh ngeluh karena merasa paling menderita. Sabar ketika mau salat, tetapi sendalnya basah dipinjam teman dan dipakai bergantian. Sabar ketika ketemu hewan di gunung mengacak-acak makanan di ransel. Duh, cokelat aku hilang. Hehe.

    Pendakian membuatku menjadi mandiri dan berani. Mandiri bukan berarti tidak butuh bantuan orang lain dan mengerjakan semuanya sendiri. Tetapi, jika menginginkan sesuatu, aku harus berusaha terlebih dahulu. Kalau lapar, untuk menikmati makanan perlu masak dulu. Kalau terluka, bukannya menangis, tetapi obati lukanya. Berani bukan berarti tidak takut apapun, tetapi berani akan menghadapi ketidakpastian. Mendaki gunung bagaikan menjalani miniatur kehidupan. Setiap perjalanannya bagaikan ujian. Akan ada pelangi setelah hujan. Ketika diaplikasikan dalam kehidupan, saat memiliki masalah, ingatlah selalu ada Allah Maha Besar. Jadilah kuat. Hidup di dunia ini hanya sementara.

    Kalau tujuan mendaki hanya untuk sebatas melihat sunrise dan sunset atau untuk eksis posting di media sosial, ketauhilah tidak semua pendakian mendapatkan panorama terbaik, lautan awan bak permen kapas, sunrise yang indah, padang rumput yang hijau atau bunga eldeweiss yang bermekaran. Ada kalanya kita akan diterpa hujan yang deras, menggigil karena kedinginan, kabut yang tebal sehingga jarak pandang menjadi terbatas. Lupakan soal foto dan merekam video, bertahan hidup untuk melewati semua ini dan pulang masih dalam keadaan selamat dan sehat adalah hal yang lebih berharga. Pendakian mengajarkanku untuk menjadi tangguh, membangkitkan insting untuk menjatuhkan sebuah pilihan. Aku selalu merasa dekat dengan kematian ketika melakukan pendakian.

    Sebuah pendakian tidak menjadikan puncak sebagai tujuan. Puncak bukanlah harga mati. Kamu sendiri yang tahu kondisi apakah kamu sanggup atau tidak untuk mencapai puncak. Apakah kondisi memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan sampai puncak? Walaupun beberapa kali aku bisa mendaki sampai ke puncak, bukan perasaan bangga sih bisa sampai puncak tetapi perasaan bahagia karena bisa mengunjungi tempat yang belum pernah aku kunjungi dan bisa berjumpa dengan orang-orang dengan latar belakang yang beragam yang belum pernah aku temui. Setiap perjalanan menceritakan kisah berbeda. 

    Kalau belum pernah merasakan nikmatnya mendaki pasti masih berpikir mendaki itu lebih banyak "ruginya". Kalimat sejuta pendaki mengatakan "Rasakan sendiri maka kau akan tahu nikmatnya mendaki." Rumah akan selalu menjadi tempat paling hangat. Tempat untuk pulang. Kadang kita harus pergi meninggalkannya, mencari rindu agar tahu bahagianya pulang berkumpul kembali bersama keluarga. Dunia ini luas, banyak interaksi yang bisa dilakukan, banyak pengalaman yang bisa kamu dapatkan. Semoga bermanfaat :)

No comments

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Followers